Pasca kemerdekaan di Indonesia, masih terdiri dari beberapa provinsi. Seperti provinsi Sumatera yang dibagi menjadi sumatera bahagian Utara, Sumatera Bahagian Tengah, dan Sumatera Bahagian Selatan. Di Jawa, ada provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, ProvinsiJawa Tengah, Jawa Timur, selebihnya Sulawesi (celebes), Kalimantan (Borneo), Nusa Tenggara, dan Irian-Maluku (Indonesia Timur). RIAU sendiri saat itu tergabung dalam Provinsi Sumatera Bagian Tengah bersama Sumatera Barat dan Jambi. Bagaimanakah cerita sejarah hingga sampai terbentuknya sebuah provinsi Riau ini ? Dan siapakah pahlawan dan tokoh yang begitu cerdas dan berani memperjuangkan
Riau menjadi sebuah provinsi sendiri , merdeka dari otoriternya sumatera tengah sehingga manfaat daripada kemerdekaan berdiri nya provinsi ini dapat kita rasakan dengan lajunya pembangunan.
Riau menjadi sebuah provinsi sendiri , merdeka dari otoriternya sumatera tengah sehingga manfaat daripada kemerdekaan berdiri nya provinsi ini dapat kita rasakan dengan lajunya pembangunan.
Bapak (Alm) H. Wan Ghalib bersama beberapa tokoh lainnya menjadi tokoh sentral sentral dalam perjuangan pembentukan Provinsi Riau. Bapak (Alm) H. Wan Ghalib mendedahkan kronologis perjuangan sejarah, dengan membuka lembaran ingatannya. Menurut mantan Ketua Penghubung di Jakarta dalam perjuangan Provinsi Riau ini, awalnya keinginan untuk menjadikan residen Riau sebagai sebuah provinsi, dilatarbelakangi untuk sebuah keadilan bagi masyarakat Riau. Karena memang Provinsi Sumatera Tengah yang memiliki tiga Residen yaitu Jambi, Riau, dan Sumbar. Karena pusat pemerintahan terdapat di Residen Sumatera Barat, Riau memang tidak terlalu terperhatikan oleh pemerintah provinsi. Karena karakteristik daerah yang berbeda, sehingga pemahaman visi dari masing-masing residen tidak bisa bersatu. Ditambah lagi ada kesan pihak pemegang kekuasaan di Sumatera Tengah selalu memaksakan diri setiap kebijakan yang diambilnya. Ide pendirian provinsi awalnya hanya ada tingkat elit dan tokoh masyarakat Riau. Namun saat itu pihak Provinsi Sumatera Tengah tidak mau memberikan apa yang diinginkan Riau, sehingga munculah intimidasi upaya penghalangan, ungkap Wan Ghalib.
Adanya tekanan tersebut perjuangan Riau untuk menjadi provinsi semakin kuat, bahkan masyarakat empat Kabupaten yaitu Bengkalis, Kepri, Indragiri, dan Kampar telah membulatkan tekad untuk sama-sama berjuang membentuk Provinsi Riau. Keinginan tersebut dimulai dengan membentuk provinsi sudah digaungkan melalui pembentukan Panitia Persiapan Provinsi Riau (PPPR) pada rapat Panitia Persiapan Provinsi Riau, 2-6 Desember 1955. PPPR dipimpin oleh H Abdul Hamid Yahya dan HM Amin sebagai wakil ketua serta T Kamarulzaman sebagai sekretaris. Sejumlah nama seperti Zaini Kunin, Ridwan Taher dan H Abdullah Hasan juga masuk dalam anggota PPPR. PPPR yang beranggotakan 60 orang dalam beberapa kali rapatnya, berkesimpulan bahwa untuk mewujudkan terbentuknya Provinsi Riau diperlukan adanya Kongres Rakyat Riau. Tujuan digelarnya kongres ini berlandaskan pada pelaksanaan azas demokrasi sebagai dasar pemerintahan desentralisasi. Berbagai upaya dilakukan untuk mewujudkan keinginan pembentukan Provinsi Riau. Salah satunya adalah digelarnya Kongres Pemuda Riau pada 17 Oktober 1954 di Pekanbaru. Pembentukan Provinsi Sumatera Tengah yang dibentuk dengan UU Nomor 10/1948 dan UU Nomor 22/1948 yang terdiri dari Riau, Jambi dan Sumatera Barat memiliki corak dan ragam yang berlainan. Masing-masing daerah memiliki kondisi alam dan kebudayaan yang berbeda.
Keinginan membentuk Provinsi Riau juga didasari pada keinginan untuk mewujudkan otonomi seluas-luasnya. Tanpa membentuk provinsi sendiri, otonomi luas yang didengung-dengungkan pemerintah pusat dinilai sulit untuk dilaksanakan. Kebulatan tekad rakyat Riau untuk membentuk provinsi sendiri lahir melalui Kongres Rakyat Riau (KRR) ke-1 yang berlangsung di Pekanbaru, 31 Januari hingga 2 Februari 1956. Kongres Rakyat Riau I merupakan langkah besar yang melandasi terbentuknya Provinsi Riau. Kongres ini dihadiri 277 perwakilan dari empat kabupaten, yaitu Indragiri, Kepulauan Riau, Kampar dan Bengkalis. Selain utusan dari kabupaten, kongres ini juga dihadiri peninjau yang jumlahnya mencapai 700 orang. Dari kongres inilah kebulatan tekad untuk membentuk Provinsi Riau terlahirkan. Seluruh masyarakat Pekanbaru dan Riau umumnya bersatu, bahkan warga sudah menyiapkan rumahnya untuk menampung para peserta kongres. Karena memang Pekanbaru dulunya belum ada apa-apanya, jangankan hotel, tempat pelaksanaan kongres saja dilaksanakan di gedung Kaum Wanita Islam ujar Wan Ghalib. Kongres Rakyat Riau tersebut meskipun tidak mendapat restu, tapi Gubernur Sumatera Tengah Ruslan Mulyohardjo turut serta hadir. Seluruh bupati juga hadir seperti Bupati Kabupaten Bengkalis BA Mochtar, Bupati Indragiri Abdul Rachman, Bupati Kampar Ali Loeis dan Bupati Kepulauan Riau Rakanaljan. Riau yang kala itu memiliki penduduk 750.000 jiwa dinilai telah layak menjadi provinsi sendiri. Riau akan berkembang jika rakyatnya memiliki inisiatif dan aktif. Namun, jika rakyat di provinsi ini hanya pasif, maka daerah ini akan sulit berkembang. Usulan membagi Provinsi Sumatera Tengah menjadi tiga provinsi juga dilandasi pada kondisi daerah masing-masing. Rakyat Riau banyak bergantung kepada sektor perikanan dan kelautan. Sedangkan Sumatera Barat lebih banyak bergantung kepada sektor pertanian. Pembentukan Provinsi Riau, berpisah dari Provinsi Sumatera Tengah sudah menjadi sebuah ikrar mati bagi seluruh masyarakat Riau. Sehingga perjuangan untuk mewujudkan hal itu mendapat dukungan luas dari masyarakat. KONGRES Rakyat Riau (KRR I) yang dilaksanakan selama tiga hari, benar-benar menggambarkan sebuah perjuangan yang merata. Semua elemen, baik tokoh, politisi, dan masyarakat larut dalam sebuah euforia perjuangan yang padu. Tak heran, dalam KRR I itu, tidak ada perbedaan pendapat yang berujung perpecahan. ‘’Perjuangan sebelumnya masih bersifat berkelompok, namun karena tekad sudah kuat, maka seluruh kelompok masyarakat tersebut sudah mulai melakukan rapat-rapat untuk menyatukan dan menyamakan persepsi perjuangan pembentukan Riau, ujar Wan Ghalib. Kongres tersebut berakhir 2 Februari 1956, dan berhasil melahirkan beberapa keputusan penting. Keputusan itu meliputi, pertama, menuntut supaya daerah Riau yang meliputi Kabupaten Kampar, Indragiri, Bengkalis dan Kepulauan Riau dijadikan daerah otonom setingkat provinsi. Kedua, memberikan definisi mengenai apa yang dimaksud dengan Rakyat Riau. Selanjutkan kongres juga menghasilkan beberapa keputusan yang intinya, bahwa pemerintah harus mempercepat seluruh proses keinginan dari 750.000 jiwa masyarakat Riau tersebut. Perjuangan setelah KRR I berakhir tidak hanya dipusatkan di Pekanbaru, bahkan sampai ke tingkat pusat. Dengan tujuan agar pihak pemerintah pusat bisa langsung mengetahui keinginan masyarakat Riau tersebut. Untuk melaksanakan tujuan tersebut, kongres menugaskan PPPR untuk mengirimkan resolusi kepada pemerintah dan DPR. Kongres juga menugaskan PPPR untuk menyelenggarakan dan melaksanakan segala pekerjaan guna mencapai tujuan tuntutan tersebut kata Wan Ghalib kembali.
Amanat yang dihasilkan dari KRR I menjadi tugas berat bagi Panitia Persiapan Provinsi Riau (PPPR) yang berpusat di Pekanbaru dan Badan Penghubung yang berpusat di Jakarta. Badan Penghubung yang dipimpin oleh Wan Ghalib menjadi ujung tombak bagi perjuangan pembentukan Provinsi Riau. Badan Penghubung bertugas menjalankan tugas-tugas dari PPPR. Badan Penghubung juga diberikan kewenangan mengambil inisiatif demi kelancaran perjuangan sepanjang tidak menyimpang dari kesepakatan Kongres Rakyat Riau. Anggota Badan Penghubung awalnya terdiri dari Wan Ghalib (Ketua), A Djalil (sekretaris) dan anggota yang terdiri dari M Sabir, Ali Rasahan, Azhar Husni, T Arief, Dt Bendaro Sati, Nahar Efendi dan Kamarudin R. Setelah dilakukan perombakan anggotanya berubah menjadi Wan Ghalib (Ketua), A Djalil M (sekretaris) dan anggota terdiri dari T Arief, DM Yanur, Kamaruddin AH, Hasan Ahmad, A Manaf Hadi, Azhar Husni dan Hasan Basri. Perjuangan pembentukan provinsi juga dilakukan melalui parlemen. Terdapat satu putra terbaik Riau yang duduk di parlemen pada waktu itu adalah Marifat Mardjani dari unsur partai. Dalam setiap kesempatan Marifat Mardjani selalu menyuarakan tuntutan pembentukan Provinsi Riau di parlemen. Putra asal Kuansing ini merupakan seorang tokoh yang sangat konsen dalam menuntut ke pemerintah pusat agar Riau menjadi provinsi. Bahkan dalam berbagai kesempatan, ia mencoba melakukan lobi-lobi politik kepada anggota DPR lainnya. Dengan gaung yang dilakukan oleh almarhum Marifat Mardjani tersebut, tentang keinginan membentuk provinsi sendiri berpisah dari provinsi induk, membuat pemerintah pusat sedikit memperhatikan keinginan ini. Keinginan yang besar tersebut tidak mampu dibendung pihak manapun, sehingga beberapa waktu, usai pelaksanaan Kongres Rakyat Riau I tersebut, Pemerintah Provinsi Sumatera Tengah mulai melunak dan tidak mampu untuk membendungnya, kata Wan lagi.
Amanat yang dihasilkan dari KRR I menjadi tugas berat bagi Panitia Persiapan Provinsi Riau (PPPR) yang berpusat di Pekanbaru dan Badan Penghubung yang berpusat di Jakarta. Badan Penghubung yang dipimpin oleh Wan Ghalib menjadi ujung tombak bagi perjuangan pembentukan Provinsi Riau. Badan Penghubung bertugas menjalankan tugas-tugas dari PPPR. Badan Penghubung juga diberikan kewenangan mengambil inisiatif demi kelancaran perjuangan sepanjang tidak menyimpang dari kesepakatan Kongres Rakyat Riau. Anggota Badan Penghubung awalnya terdiri dari Wan Ghalib (Ketua), A Djalil (sekretaris) dan anggota yang terdiri dari M Sabir, Ali Rasahan, Azhar Husni, T Arief, Dt Bendaro Sati, Nahar Efendi dan Kamarudin R. Setelah dilakukan perombakan anggotanya berubah menjadi Wan Ghalib (Ketua), A Djalil M (sekretaris) dan anggota terdiri dari T Arief, DM Yanur, Kamaruddin AH, Hasan Ahmad, A Manaf Hadi, Azhar Husni dan Hasan Basri. Perjuangan pembentukan provinsi juga dilakukan melalui parlemen. Terdapat satu putra terbaik Riau yang duduk di parlemen pada waktu itu adalah Marifat Mardjani dari unsur partai. Dalam setiap kesempatan Marifat Mardjani selalu menyuarakan tuntutan pembentukan Provinsi Riau di parlemen. Putra asal Kuansing ini merupakan seorang tokoh yang sangat konsen dalam menuntut ke pemerintah pusat agar Riau menjadi provinsi. Bahkan dalam berbagai kesempatan, ia mencoba melakukan lobi-lobi politik kepada anggota DPR lainnya. Dengan gaung yang dilakukan oleh almarhum Marifat Mardjani tersebut, tentang keinginan membentuk provinsi sendiri berpisah dari provinsi induk, membuat pemerintah pusat sedikit memperhatikan keinginan ini. Keinginan yang besar tersebut tidak mampu dibendung pihak manapun, sehingga beberapa waktu, usai pelaksanaan Kongres Rakyat Riau I tersebut, Pemerintah Provinsi Sumatera Tengah mulai melunak dan tidak mampu untuk membendungnya, kata Wan lagi.
Kami terpaku, bisu, tubuh ringan melayang, kuping berdesing, kami tetap terdiam tanpa ada reaksi apa-apa,’’ kata Wan Ghalib ketika Mendagri menyampaikan Provinsi Riau resmi diteken Presiden Soekarno.
KABAR gembira bagi rakyat Riau akhirnya tersiar ketika Presiden Soekarno, akhirnya menandatangani Undang-Undang Darurat Nomor 19 tahun 1957 tanggal 9 Agustus 1957 di Bali. Undang-undang ini menyatakan pembentukan daerah-daerah tingkat I, yaitu Sumatera Barat, Jambi dan Riau. Hingga saat ini Tanggal 9 Agustus di peringati sebagai Hari Jadinya Provinsi Riau
Kabar lahirnya undang-undang ini diterima langsung oleh Ketua BadanPenghubung Wan Ghalib beserta Wakil Ketua DM Yanur dari Menteri DalamNegeri Sanusi Hardjadinata. Menteri mengatakan bahwa undang-undang ini akan diundangkan dalam lembaran negara oleh Menteri Kehakiman GA Maengkom pada tanggal 10 Agustus 1957.
‘’Pagi Jumat tanggal 9 Agustus saya dijemput D M Yanur Wakil Ketua Badan Penghubung di Jakarta dengan menggunakan mobil pribadinya, melaju untuk menghadap Menteri Dalam Negeri Sanusi Hardjadinata,’’ ujar Wan Ghalib mengenang.
Sepanjang perjalanan tidak ada terbesit hari itu akan menjadi hari bersejarah bagi seluruh masyarakat Riau. Sesampai di kantor Mendagri, beberapa saat menunggu akhirnya Mendagri mempersilahkan masuk ke ruangannya.
‘’Tadi malam kabinet sudah bersidang, termasuk membicarakan masalah Provinsi Riau. Sidang kabinet menyetujui, membagi Provinsi SumateraTengah menjadi tiga provinsi, yaitu Provinsi Sumatera Barat, Jambi, dan Riau dengan Undang-undang Darurat Nomor 19 tahun 1957 yang ditandatangani Presiden Seokarno,’’ ungkap Mendagri ketika itu, seperti ditirukan Wan Ghalib.
Informasi dari Mendagri yang menggembirakan itu tidak membuat suasana menjadi riuh rendah. ‘’Kami terpaku, bisu, tubuh ringan melayang, kuping berdesing, kami tetap terdiam tanpa ada reaksi apa-apa,’’ kata Wan lagi, mengenang.
Dengan lahirnya undang-undang ini, maka dengan sendirinya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 4 tahun 1950 yang menggabungkan Sumatera Barat, Jambi dan Riau dalam wadah pemerintahan Sumatera Tengah dinyatakan batal.
Setelah mengirim berita ke Tanjungpinang, kembali Badan Penghubung mengirim rilis ke seluruh surat kabar yang ada di ibukota tentang keputusan Riau menjadi provinsi terpisah dari Provinsi Sumatera Tengah. Beberapa elemen masyarakat Riau di Jakarta seperti Ikatan Warga Riau, Ikatan Pelajar Riau, dan Badan Penghubung sendiri sepakat untuk menyiarkan informasi ini secara besar-besaram atas kelahiran Provinsi Riau.
Setelah adanya keputusan ini selanjutnya dipersiapkanlah perayaan menyambut Provinsi Riau dengan mengadakan malam syukuran dan malamsyukuran ini diberi nama ‘’Malam Riau’’. Dibentuklah suatu panitia pelaksana yang diketuai DM Yanu. Pada ‘’Malam Riau’’ ini akan
ditampilkan kesenian daerah Riau. Dan tamu yang diundang termasuk beberapa menteri seperti Menteri Agraria, Menteri Urusan antara Daerah, Sri Sultan Siak, dan Mendagri.
Pada ‘’Malam Riau’’ inilah awal mula tampilnya lagu Lancang Kuning yang menjadi lagu daerah Provinsi Riau sampai saat ini. Penetapan Riau menjadi provinsi juga disambut gembira hampir di seluruh pelosok negeri Riau. Masyarakat dengan caranya masing-masing melakukan perayaan dengan penuh kebahagian.
Keputusan penetapan UU pada tanggal 9 Agustus 1957 tersebut menjadi hari paling bersejarah bagi seluruh masyarakat Riau. Keputusan tersebut merupakan keputusan yang terbaik demi untuk membawa masyarakat Riau ke arah yang lebih baik.
‘’Namun perubahan dan kemajuan tersebut bukanlah akhir dari seluruh perjuangan. Karena dari total masyarakat Riau sebanyak 5 juta jiwa, masih ada 13,30 persen lagi masyarakat Riau yang hidup dalam garis kemiskinan,’’.
Suatu pagi menjelang siang di bulan Juli 1954. Udara sedikit panas dan berdebu. Aktivitas Bandara Halim Perdana Kusuma Jakarta sibuk. Calon penumpang didominasi oleh tentara. Hanya beberapa gelintir saja orang sipil itu terlihat seorang pemuda sedikit kurus. Ia menunggu kesempatan untuk dapat menumpang pesawat yang akan ke Padang. Tujuannya adalah Pekanbaru lewat jalan darat. Ia bersama empat orang sipil lainnya bergegas naik pesawat dan mendapat tempat duduk dekat jendela. Pemuda itu meletakkan bawaannya di dalam pesawat. Ia pun duduk sembari meluruskan kakinya melepas penat. Namun belum sempat bernafas lega datang pengumuman dari kokpit pesawat agar empat orang penumpang sipil segera turun kembali dari pesawat karena ada empat orang tentara yang ada keperluan ke Padang. Kecewa, tapi apa daya. Pemuda itu bersama empat orang sipil lainnya pun turun. Mereka pahan bahwa era itu adalah era-nya militerisme. Selain tentara hanya warga kelas dua. Ia hanya bisa melihat pesawat itu kemudian bergerak di landasan pacu dan membumbung ke udara. Bersama harapannya ke Pekanbaru yang sirna. Ia terpaksa menunggu pesawat keesokkan harinya. Ia hanya tak menyangka bahwa Tuhan sedang menyelamatkannya. Udara cerah begitu pesawat mendarat di Bandara Tabing, Padang . Sejumlah polisi militer (PM) dari Dewan Banteng segera menyongsong pintu pesawat terbuka. Dengan senjata lengkap mereka bertanya apa ada di penerbangan ini warga sipil. Ternyata mereka mencari seseorang. Mana Wan Ghalib ?, tanya komandan regu PM Banteng kepada sejumlah tentara yang ada. Tak ada yang mengenalnya. Komandan regu segera memberi hormat ketika seorang perwira TNI Letkol Hasan Basri ikut turun dari pesawat. Mengapa mencari Wan Ghalib ? tanyanya kepada para polisi militer itu. Dia tokoh pergerakan di Riau yang mau memisahkan diri dari Sumatera Tengah. Kalau ada di pesawat ini kami akan menangkapnya dan mengirimnya ke Camp Situjuh, biar tahu rasa dia, jawab sang komandan PM dengan tegas. Kalau tak ada sekarang tak apa, besok kita patroli lagi,ujarnya sembari memerintahkan anggotanya kembali ke mobil. Letkol Hasan Basri pun berlaku. Yang komandan PM itu tidak tahu adalah Letkol Hasan Basri salah seorang perwira Dewan Banteng yang intelektual dan kenal baik dengan Wan Ghalib. Ia paham apa yang diperjuangkan aktivis pergerakkan Riau itu. Secara diam-diam, Letkol Hasan Basri memberitahukan kepada teman Wan Ghalib dan meminta agar aktivis itu tidak pulang ke Pekanbaru, karena sudah ditunggu dan akan dikirim ke Camp Situjuh. Akhirnya Wan Ghalib pun batal pulang ke Pekanbaru. Mengapa saya katakan ini pertolongan Allah SWT, jika letkol Hasan Basri tidak berangkat , maka kami tidak akan tahu bahwa saya sedang dicari-cari ole PM Dewan Banteng, ujar Wan Ghalib. Sebelum Riau menjadi provinsi berdaulat (menjadi provinsi sendiri), Riau masih bergabung dengan Provinsi Sumtera Tengah yang ibukotanya berkedudukan di Sumatera Barat (Sumbar). Provinsi Sumatera Tengah sendiri ketika itu wilayahnya Sumbar, Riau, dan Jambi.
Pembentukkan Provinsi Riau lepas dari Provinsi Sumatera Tengah mendapat tantangan dari penguasa waktu itu. Jika ada saja masyarakat yang berbicara tentang Provinsi Riau bersiap-siaplah akan dibawa ke camp penjara di daerah Situjuh. Pada masa itu sangat banyak aktivis Riau yang diantar dan dibuang ke campSitujuh tersebut. Jika sudah masuk dan diantar ke camp jawabannya pasti mati, tidak ada yang selamat jika sudah berada di dalam camp tersebut. Saya termasuk tokoh yang paling dicari untuk dimasukkan kedalam camp Situjuh tersebut.
Menurut Wan Ghalib penderitaan demi penderitaan dialami rakyat Riau saat menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Tengah tersebut. Berbagai sendi kehidupan tidak ada yang maju. Rakyat banyak yang miskin, pendidikan terabaikan apalagi sarana dan prasarana infrastruktur seperti jalan, jembatan dan sebagainya. Ketidakadilan sangat dirasakan, kekayaan yang dimiliki negeri yang bernama Riau itu terus dikeruk habis, tidak ada yang dikembalikan ke Riau, semuanya diangkut ke ibukota provinsi Sumatera Tengah yang berkedudukan di Sumatera Barat dan kemudian dikirim ke ke Jakarta. Pedih dan derita ditanggung rakyat Riau , hasil kekayaan negeri yang dimiliki tidak dirasakan rakyat. Pedih sangat pedih penderitaan yang dialami rakyat Riau ketika masih bersama dengan Provinsi Sumatera Tengah itu, kenangnya.
Berkat informasi letkol Hasan Basri ia pun membatalkan niatnya pulang ke Pekanbaru. Ia kemudian bertahan di Jakarta dan kemudian menjadi Ketua Badan Penghubung Panitia Persiapan Provinsi Riau di Jakarta. Ketika itu Riau tidak dipandang, kekayaan yang ada diambil dan dikeruk habis dan dibawa dan tidak ada yang dibalikkan untuk membangun berbagai kepentingan Riau. Rakyatpun hidup dengan melarat, pendidikan rakyat tidak diperhatikan, akibatnya rakyat menjadi bodoh. Lebih lanjut Wan Ghalib menceritakan bahwa Provinsi Sumatera Tengah yang pada ketika itu dikuasai militer yakni Dewan Banteng memang sangat semena-mena dalam memerintah.
Orang-orang Riau yang menjadi camat, bupati maupun gubernur mereka ganti dengan orang-orang mereka yang berasal dari luar Riau. Saat itu, orang Riau tidak menjadi tuan rumah di rumahnya sendiri, semuanya dikuasai oleh orang lain, ujar Wan Ghalib. Upaya-upaya pembodohan terhadap masyarakat Riau terus dilakukan. Sebagai daerah yang memiliki kekayaan alam yang juga sebagai penopang pembangunan Sumatera Tengah, di Riau malah tidak ada sekolah sama sekali. Sementara ibukota Sumatera Tengah sana, di semua kecamatan berdiri sekolah-sekolah mulai dari jenjang Sekolah Dasar (SD) sampai dengan Sekolah Menengah Atas (SMA). Mereka bangun sekolah dan berbagai sarana infrastruktur lainnya di ibukota Sumatera Tengah dengan kekayaan negeri Riau ini. Bahkan, universitas yang ada sekarang itu dibangun dengan menggunakan hasil kekayaan ikan dari Bagansiapi-api, sementara Riau tidak diperhatikan dan dibiarkan, ujarnya. SMA pada ketika itu di Riau hanya ada di Tanjung Pinang, itupun bukan dibangun oleh pemerintah provinsi akan tetapi sekolah peninggalan Belanda. SMA yang ada di Pekanbaru juga bukan dibangun oleh pemerintah akan tetapi swasta dalam hal ini PT Caltex. Inilah selanjutnya menjadi cikal bakal rakyat Riau berontak. Jika terus seperti ini, Riau tidak akan maju-maju. Selagi Riau masih dibawah Provinsi Sumatera Tengah orang Riau tidak akan hidup berkembang, selagi masih bernaung dibawah Provinsi Sumatera Tengah orang Riau tidak bisa hidup di kampungnya sendiri. Tindakan penguasa saat itu sangat melukai hati rakyat, karenanya mulailah muncul perlawanan-perlawanan dan diwacana pembentukan Provinsi Riau, ujarnya. Uang Belanja Isteri Perjuangan untuk memisahkan diri dari kungkungan Provinsi Sumatera Tengah terus digelorakan. Pada Kongres Rakyat Riau (KRR), maka disepakati lah pembentukkan Badan Penghubung Panitia Persiapan Provinsi Sumatera Tengah, kami dengan niat yang mantap berangkat ke Jakarta guna memperjuangakan Provinsi Riau,†ujarnya. Sejak diamanahkan untuk berjuang di Jakarta bersama sembilan teman yang lain masing-masing Tengku Arief, Abdul Manaf Hadi, Hasan Ahmad, Abdul Jalil M (Sekretaris), Kamaruddin, DM Yanur (Wakil Ketua), Wan Ghalib (Ketua), Aidir Sani dan Azhar Husni, secara perlahan namun pasti upaya lobi ke Departemen Dalam Negeri (Depdagri) terus dilakukan. Untuk berjuang membentuk provinsi tersendiri, menurut Wan Ghalib lagi mereka tidak pernah mendapatkan uang sedikitpun. Pandai-pandai kamilah di Jakarta berjuang, terkadang uang belanja isteri kami pakai untuk berjuang. Pernah isteri saya bilang jika sudah terbentuk Provinsi Riau, kembalikan uang belanja saja. Tak tahu siang atau malam, kami terus berjuang, tutur Wan mengisahkan masa lalunya. Susahnya membentuk provinsi itu, dikarenakan partai-partai yang berkuasa saat itu dikuasai atau dipegang oleh saudara-saudara kita yang berasal dari Sumbar. Mereka rata-rata yang menghalagi keinginan untuk pembentukkan Provinsi Riau tersebut. Namun kami tak gentar, upaya lobi ke Depdagri dan menggalang kekuatan media massa terus kami lakukan. Setiap hari di media massa harus ada berita tentang keinginan pembentukkan Provinsi Riau, ujarnya. Hampir 2,5 tahun perjuangan untuk memisahkan diri dari Provinsi Sumatera Tengah mulai menemui titik terang setelah diberlakukan UU darurat tanggal 9 Agustus tahun 1957.
Di dalam UU darurat tanggal 9 Agustus tahun 1957. Di dalam UU tersebut dinyatakan bahwa Provinsi Sumatera Tengah dipecah menjadi tiga provinsi masing-masing Provinsi Sumbar, Riau dan Jambi. Namun Dewan Banteng tidak setuju. Dewan Banteng selanjutnya membentuk gubernur muda Riau yang dipegang oleh Syamsu Nurdin yang kemudian dilanjutkan dengan pembentukkan DPR. Nama saya juga dimasukkan sebagai salah seorang anggota DPR, namun saya tolak sebab mereka tidak berhak membentuk itu dan pemerintah Indonesia sendiri sudah tegas membentuk Provinsi Riau, ujarnya. Upaya lobi ke Mendagri yang saat itu Sanusi Hardja terus dilakukan dan kami katakan sebaiknya pembentukkan Provinsi Riau jangan lewat dari tanggal 31 Agustus karena pada tanggal tersebut Malaysia akan merdeka, karenanya dikhawatirkan akan ada gerakan-gerakan untuk bergabung dengan Malaysia. Mendagri pada ketika itu menjawab menjawab akan diusahakan dan akhirnya keinginan itu akhirnya terwujud. Isu akan ada gerakan untuk bergabung dengan Malaysia itu memang sengaja kami sampaikan agar pembentukkan Provinsi Riau itu bisa terwujud segera dan Alhamdulillah pada akhirnya keinginan itu terwujud dan sampai saat ini Riau menjadi salah satu Provinsi terkemuka di Indonesia, ujarnya lagi. Setelah resmi menjadi Provinsi Riau, maka selanjutnya dilantiklah Gubernur Riau yang pertama MR SM Amin pada tanggal 3 Maret 1958. Setelah terbentukpun masih banyak kerja yang harus diselesaikan terutama sekali menumpas para anggota Dewan Banteng yang masih enggan mengakui Provinsi Riau. Hingga saat ini, kisah penzoliman terhadap Provinsi Riau masih berlanjut, ketidakadilan birokrasi di pemerintahan pusat pada masa orde baru terutama dalam keadilan pemerataan pembangunan, keadilan pembagian DBH migas,infrastruktur, kelistrikan, dan lain-lain dikarenakan regulasi masih dipegang sesuai dengan kebijakkan pusat hingga pasca reformasi menghantarkan Riau menuju sebuah wacana khusus yaitu otonomi khusus Provinsi Riau.
0 comments:
Post a Comment