Mitos GUNUNG BROMO

Di masa kerajaan Majapahit, di sekitar gunung Bromo, tepatnya Gunung Pananjakan bersemayamlah seorang pertapa. Suatu ketika istrinya melahirkan anak pria dinamakan Joko Seger (Joko yang sehat dan kuat).

Di sekitar tempat itu, lahirlah seorang anak perempuan, titisan dewa. Ketika dilahirkan tak menangis (bukannya berarti pertanda bisu lho!), maka dinamakanlah Rara Anteng. Selanjutnya Rara Anteng menjadi gadis yang cantik. Banyak pemuda yang terpikat dengannya.

Salah seorang yang terpikat adalah seorang bajak yang terkenal sakti dan kuat. Kehalusan perasaan Rara Anteng tak mampu menolak lamarannya karena hatinya sudah terpikat oleh Joko Seger. Maka, Rara Anteng mau menimanya asal dibuatkan lautan di tengah-tengah gunung. Ia beranggapan permintaan yang aneh itu tak akan disanggupi.karena mesti diselesaikan dalam waktu semalam, yang diawali ketika matahari terbenam dan selesai ketika matahari terbit.

Pelamar sakti tersebut mengerjakan permintaan Rara Anteng dengan alat sebuah tempurung (batok kelapa) dan pekerjaannya hampir selesai. Kenyataan ini membuat Rara Anteng gelisah dan berupaya menggagalkannya.

Di tengah malam itu ia menumbuk padi. Pelan-pelan gesekan alu membangunkan ayam-ayam. Kokokan ayam pun seolah menyambut fajar teah tiba. Si Bajak mendengar semuanya dan merenungi nasibnya akan kegagalan upayanya. Sebagai ungkapan kekesalannya, ia melemparkan batok kelapa yang digunakan untuk membuat lautan tersebut di samping Gunung Bromo, dan tempat tersebut berubah menjadi Gunung Batok.

Selanjutnya Rara Anteng melanjutkan hubungannya dengan Joko Seger dan berakhir menuju ke pelaminan. Pasangan ini membangun pemukiman di sekitar Gunung Tengger dengan sebutan Purbawasesa Mangkurat Ing Tengger (Penguasa Tengger yang Budiman). Nama Tengger diambil dari suka kata akhir dari nama Rara Anteng dan Joko Seger. Arti Tengger sediri mempunyai arti Tenggering Budi Luhur atau pengenalan moral tinggi, simbol perdamaian abadi.

Masyarakat Tengger hidup makmur dan damai namun penguasanya tidak merasa bahagia karena belum dikarunia anak. Selanjutnya diputuskan untuk menaiki puncak Bromo untuk bersemedi dengan penuh kepecayaan Yang Maha Kuasa agar dikaruniai keturunan.
Ada suara gaib yang menyatakan akan mengabulkan angan-angannya dengan syarat anak yang bungsu kelak mesti dikorbankan ke kawah gunng Bromo. Mereka dikaruniai 25 anak. Pendek kata pasangan ini ingkar janji. Keingkarannya ini membuat Dewa marah dan keadaan menjadi gelap gulita.dan kawah gunung Bromo menyemburkan api.Anak bungsunya yang bernama Kesuma terjilat api dan masuk kawah Gunung Bromo. Bersama hilangnya Kesuma, terdengarlah suara ghaib, "Saudara-saudarku yang kucintai, aku telah dikorbankan orang tua kita dan Syang Hyang Widi menyelamatkan kalian semua. Hiduplah dengan tentram dan damai. Aku ingtakan kalian setiap bulan Kasada pada hari ke-14 mengadakan sesaji kepada Hyang Widi di kawah Gunung Bromo". Kebiasaan ini diikuti oleh masyarakat Tengger dan setiap tahun diadakan upacara Kasada di Poten lautan pasir dan kawah Gunung Bromo.

Ringkasan ini diambil dari kumpulan cerita rakyat. Beberapa cerita rakyat, mempunyai beberapa kesamaan di awal, namun kerap diakhiri dengan penyelesaiann yang berbeda. Begitulah salah satu mitos tentang Gunung Bromo yang dikisahkan secara turun temurun. Namanya juga mitos, tak ada yang tahu kebenaran pastinya. Yang pasti, keberadaan Gunung Bromo dan tradisi budaya lokal serta suku Tengger, mampu menarik wisata lokal maupun mancanegara. Bagaimana dengan Anda? Apakah tertarik untuk berkunjung ke sana ? 
Share on Google Plus

About test

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment

0 comments:

Post a Comment